Bahaya Revisi UU TNI: Ancaman Represi dan Hilangnya Profesionalisme Militer

Rencana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) telah memicu kekhawatiran luas di kalangan masyarakat sipil, pengamat militer, dan pemerhati demokrasi. slot gacor depo 10k Salah satu poin paling kontroversial dalam revisi tersebut adalah diperluasnya peran prajurit dalam kehidupan sipil, yang dikenal dengan istilah “tugas selain perang” atau multifungsi. Padahal, peran utama TNI secara konstitusional adalah menjaga pertahanan negara dari ancaman militer eksternal. Namun, dalam draf revisi terbaru, muncul banyak ketentuan yang memungkinkan prajurit TNI masuk lebih jauh ke ranah sipil: mulai dari jabatan di kementerian, lembaga sipil, hingga pengawasan kegiatan tertentu di masyarakat. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini bentuk modernisasi militer atau justru langkah mundur dalam sistem demokrasi? Multifungsi Prajurit: Ancaman terhadap Netralitas dan Profesionalisme Militer sejatinya dilatih untuk bertempur, bukan untuk mengelola pemerintahan atau menangani urusan sipil. Ketika prajurit diberi tugas-tugas yang berada di luar kompetensinya, maka yang terjadi bukan hanya penyimpangan fungsi, tetapi juga degradasi profesionalisme. Prajurit bisa kehilangan jati dirinya sebagai abdi pertahanan negara dan berubah menjadi alat kekuasaan sipil. Di sisi lain, dengan keterlibatan langsung TNI di ranah sipil, netralitas mereka sebagai institusi negara bisa terganggu. Potensi intervensi dalam proses demokrasi pun terbuka lebar, terutama menjelang pemilu atau saat terjadi konflik sosial yang semestinya ditangani oleh kepolisian dan aparat sipil lainnya. Publik Terancam Direpresi: Kembali ke Zaman Orde Baru? Salah satu kekhawatiran utama masyarakat adalah kembalinya “dwifungsi ABRI” seperti pada masa Orde Baru, di mana militer memiliki kekuasaan besar di pemerintahan dan kehidupan sipil. Ini terbukti menjadi sumber represi dan pelanggaran HAM di masa lalu. Dengan revisi UU TNI, ancaman itu seolah dihidupkan kembali dalam bentuk yang lebih halus, tetapi dampaknya bisa sama membahayakannya. Ketika militer diberi kewenangan mengawasi atau bahkan mengintervensi urusan sipil, maka potensi represi terhadap masyarakat menjadi sangat besar. Aktivis, mahasiswa, jurnalis, dan masyarakat umum bisa menjadi sasaran intimidasi jika dianggap “mengganggu stabilitas”, padahal mereka hanya menjalankan hak demokratis. Militer Bukan Alat Politik Penting untuk dipahami bahwa militer bukan alat politik kekuasaan. Dalam negara demokrasi yang sehat, militer harus berada di bawah kendali sipil dan tunduk pada prinsip akuntabilitas. Revisi UU TNI yang mengaburkan batas antara sipil dan militer justru menciptakan ketidakjelasan wewenang yang bisa disalahgunakan oleh elite politik demi kepentingan jangka pendek. Selain itu, peran militer dalam birokrasi atau institusi sipil juga mengurangi ruang bagi profesional sipil dan mempersempit partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat reformasi dan cita-cita demokrasi pasca-1998. Perlu Kajian Kritis dan Partisipasi Publik Revisi UU TNI tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa tanpa melibatkan masyarakat sipil dan akademisi. Proses legislasi yang tertutup hanya akan memperbesar kecurigaan publik terhadap motif di balik revisi tersebut. Pemerintah dan DPR perlu membuka ruang diskusi yang sehat agar regulasi yang lahir benar-benar mencerminkan kebutuhan pertahanan negara, bukan kepentingan politik semata. Dalam konteks global, banyak negara demokrasi modern justru memperkuat batas antara militer dan sipil. Indonesia seharusnya tidak mundur dari komitmen tersebut. Sebaliknya, perlu memperkuat institusi militer yang profesional, netral, dan fokus pada pertahanan negara — bukan menjadi alat kekuasaan dalam urusan sipil.